BAB 4
Bermain Ansambel Musik Tradisional
Musik tradisional adalah musik
yang hidup di masyarakat secara turun temurun, dipertahankan sebagai
sarana hiburan. Tiga komponen yang saling memengaruhi diantaranya
Seniman, musik itu sendiri dan masyarakat penikmatnya.
Sedangkan
maksudnya untuk memper-satukan persepsi antara pemikiran seniman dan
masyarakat tentang usaha bersama dalam mengembangkan dan melestarikan
seni musik tradisional. Menjadikan musik tradisional sebagai
perbendaharaan seni di masyarakat sehingga musik tradisional lebih
menyentuh pada sektor komersial umum.
Kegiatan ini diharapkan mampu memberi kontribusi bagi peserta
juga kepada masyarakat luas sehingga musik tradisional dapat berperan
sebagai hiburan.
Musik Tradisional juga adalah musik yang berkembang secara tradisional
di kalangan suku-suku tertentu.
A. Jenis Musik Ansambel Tradisional
Dilansir dari Ensiklopdi
Nasional Indonesia ( 1990 : 413 ) disebutkan bahwa kata musik berasal
dari bahasa Yunani mousike yang diambil dari nama dewa dari mitologi
Yunani yaitu Mousa yakni yang memimpin seni dan ilmu.
Sedangkan Tradisional berasal dari bahasa latin yaitu Traditio
yang artinya kebiasaan masyrakat yang sifatnya turun temurun. Jadi
dapat disimpulkan bahawa Seni Musik tradisional adalah sebuah seni musik
yang menggambarkan ciri khas dari kalangan masyarakat tertentu secara
turun temurun.
Gamelan jelas bukan musik yang asing. Popularitasnya telah merambah berbagai benua dan telah memunculkan pa du an musik baru jazz-gamelan, melahirkan institusi se ba gai ruang belajar dan ekspresi musik gamelan, hingga meng hasil kan pemusik gamelan ternama.
Pagelaran musik gamelan kini bisa dinik mati di berbagai belahan dunia. Di Indonesia terutama di Pulau Jawa dan Bali salah sa tu je nis seni bebunyian atau seni tetabuhan yang dianggap pa ling tua dan masih bertahan hidup serta berkembang sam pai saat sekarang ini adalah alat musik gamelan atau di dae rah-daerah tertentu sering disebut dengan istilah seni karawitan.
Seni karawitan dikenal di Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur dan Jawa Barat.
Istilah karawitan pada saat sekarang di daerah-daerah tertentu terutama pada lingkungan perguruan tinggi seni se ring digunakan untuk menyebut berbagai jenis alat musik dae rah yang berbentuk alat instrumental maupun vokal yang memi liki sifat, kerakter, dan konsep serta cara kerja atau aturan tertentu. Banyak yang memnggunakan istilah karawitan dengan be rang kat dari dasar kata rawit seperti menurut Ki Sindu Su war no karawitan berasal dari kata “rawit” yang berarti cabe ra wit yang kecil serta halus, indah.
Indah artinya disini adalah seni. Jadi karawitan adalah seni suara yang berbentuk vokal mau pun instrumental yang berlaraskan pelog dan slendro. Sedangkan menurut R.M. Kusumadinata dari Bandung bah wa istilah karawitan adalah “pancaran sinar yang indah”, yaitu seni artinya karawitan adalah seni suara yang berbentuk vo kal maupun instrumental yang berlaraskan pelog dan salen dro.
Namun pada saat sekarang istilah karawitan sangat lu as sekali pengertiannya, jadi kalau istilah karawitan hanya se ni suara yang berlaraskan pelog dan salendro saja tidak me wa ki li pada jenisjenis musik lainnya,sementara jenis-jenis mu sik di Indonesia sangat beragam, dengan demikian di era se ka rang bahwa istilah karawitan adalah mencakup jenis-jenis alat musik yang berbentuk vokal maupun instrumental dan tidak hanya yang berlaraskan pelog salendro saja akan tetapi se luruh bentuk jenis kesenian yang ada di Indonesia.
Dengan demi kian bertolak dari pengertian itu maka tidak heran bila is tilah karawitan kemudian dapat digunakan untuk menyebut atau mewadahi beberapa cabang seni yang memiliki karakter yang halus, kecil dan indah. Jadi karawitan tidak hanya menunjuk pada gamelan Ja wa, Bali, Sunda tetapi juga jenis seperangkat alat musik lain di Indo nesia. Contoh; Talempong Sumatera Barat, Gondang Suma tera Utara, Kulintang Sulawesi Selatan, Angklung Jawa Ba rat, Arumba, tifa, dan sejenisnya.
GAMELAN BALI
Di ranah alat musik
Nusantara, gamelan bali adalah sebuah fenomena. Dia terus hidup dan
lestari di tengah masyarakatnya, menjadi bagian tak terpisahkan dalam
kehidupan masyarakat Bali. Hal ini antara lain karena sifat gamelan bali
yang selalu terbuka pada pembaruan sebagaimana sifat masyarakat Bali
yang selalu terbuka pada dunia luar. Tidak stagnan.
Di pulau dewata Bali, gamelan biasa ditampilkan dalam
berbagai kepentingan. Sebagian besar dimainkan untuk mengiringi
pertunjukan kesenian, seperti tari, drama, dan teater. Sebagian lagi
untuk mengiringi upacara ritual atau sebagai sajian instrumentalia.
Berdasarkan latar belakang sejarahnya, gamelan yang ada
di Bali tersebut dikelompokkan menjadi tiga, yaitu gamelan tua, gamelan
madya, dan gamelan baru.
Budayawan Bali, I Wayan Dibia, mengatakan, gamelan tua
adalah gamelan yang lahir sebelum abad XV. Secara fisik,
perangkat-perangkat gamelan yang terdapat dalam kelompok gamelan tua
berukuran kecil. Sementara secara musikal, gamelan tua didominasi
permainan alat-alat yang berbentuk bilahan, seperti gambang, caruk,
genggong, selonding, gong luwang, gong bheri, gender wayang, angklung,
bebonangan, dan balaganjur.
Gamelan madya adalah gamelan yang lahir antara abad XV
dan abad XIX. Secara fisik, perangkat gamelan madya sudah lebih besar
daripada perangkat gamelan tua. Sementara secara musikal, musik-musik
yang dihasilkan oleh kelompok gamelan madya ini sudah diwarnai permainan
alat-alat berbilah dan berpencon. Yang termasuk dalam kategori gamelan
madya adalah gamelan pagambuhan, semar pagulingan, gong gede, batel
barong, bebarongan, pelehongan, jogged pingitan, dan gong degdog.
Gamelan baru adalah gamelan yang lahir pada abad XX dan
sesudahnya. Secara fisik, perangkat-perangkat alat musik pada gamelan
baru sudah jauh lebih besar ketimbang gamelan madya. Adapun secara
musikal, musik-musik yang dihasilkan gamelan baru sudah mulai didominasi
permainan kendang dengan tetap mengedepankan permainan alat-alat
berbilah dan berpencon.
Gamelan-gamelan yang masuk kategori gamelan baru antara
lain gamelan joged bumbung, jegog, bumbung gebyog, kendang mabarung,
gamelan geguntangan, gamelan gong kebyar, gamelan janger, gong suling,
dan tektekan.
Pengelompokan gamelan di Bali, sebagaimana disebutkan
Dibia, tampaknya telah mencapai kesepakatan. Sejumlah praktisi seni
lainnya, di antaranya Rektor Institut Seni Indonesia Denpasar I Gede
Arya Sugiartha dan pelaku gamelan kontemporer, I Wayan Sudirana, juga
menyatakan pendapat yang sama mengenai pengelompokan gamelan bali.
Instrumen Gamelan Gong Kebyar
Bali memiliki sedikitnya 30 jenis barungan (ansambel)
gamelan yang masih aktif dimainkan. Muncul pada 1915, gong kebyar
merupakan jenis barungan modern dan kini menjadi yang paling populer.
Dimainkan lebih dari 25 orang, gong kebyar termasuk barungan ageng atau
terbesar dari tiga kelompok ukuran barungan.
Instrumen gamelan yang berpasangan dibedakan menjadi lanang dan wadon,
atau lelaki dan perempuan. Peran masing-masing “jenis kelamin” adalah
memainkan not polos atau not sangsih. Kombinasi permainan polos dan
sangsih menciptakan efek kebyar: keras, cepat, dan berkaitan
Sifat gamelan bali yang dinamis terus mencari pembaruan
menjadi kunci bagi pengembangan gamelan bali. Inilah yang menyebabkan
gamelan bali terus eksis dan mendapat tempat di tengah masyarakatnya.
Bukannya mati, gamelan bali justru terus menemukan bentuk baru,
menyesuaikan dengan perkembangan zaman dan terus aktual dengan zaman.
Saat ini, salah satu jenis gamelan baru yang sangat
populer di Bali adalah gong kebyar. Hampir setiap sekolah, perguruan
tinggi, dan kantor pemerintahan memiliki gamelan gong kebyar. Begitu
juga dengan banjar-banjar yang ada di Bali.
Malahan, gamelan bali tak lagi hanya dimainkan pengrawit
laki-laki. Belakangan gong kebyar juga dimainkan pengrawit anak dan
wanita.
Gede dari Banjar Jambe Belodan, Tabanan, Bali,
mengatakan, saat ini gong kebyar wanita sedang menjadi tren. Banyak ibu
dan remaja putri yang berminat memainkan gamelan
ANGKLUNG
Angklung adalah alat musik multitonal (bernada ganda) yang secara tradisional berkembang dalam masyarakat Sunda di Jawa Barat bagian barat. Alat musik ini dibuat dari bambu,
dibunyikan dengan cara digoyangkan (bunyi disebabkan oleh benturan
badan pipa bambu) sehingga menghasilkan bunyi yang bergetar dalam
susunan nada 2, 3, sampai 4 nada dalam setiap ukuran, baik besar maupun
kecil. Dictionary of the Sunda Language karya Jonathan Rigg, yang
diterbitkan pada tahun 1862 di Batavia, menuliskan bahwa angklung
adalah alat musik yang terbuat dari pipa-pipa bambu yang dipotong
ujung-ujungnya menyerupai pipa-pipa dalam suatu organ, dan diikat
bersama dalam suatu bingkai, digetarkan untuk menghasilkan bunyi.
Jenis angklung
Angklung Kanekes
Angklung di daerah Kanekes (kita sering menyebut merekaorang Badui
digunakan terutama karena hubungannya dengan ritus padi, bukan
semata-mata untuk hiburan orang-orang. Angklung digunakan atau
dibunyikan ketika mereka menanam padi di huma (ladang). Menabuh angklung
ketika menanam padi ada yang hanya dibunyikan bebas (dikurulungkeun),
terutama di Kajeroan (Tangtu; Baduy Jero), dan ada yang dengan ritmis
tertentu, yaitu di Kaluaran (Baduy Luar). Meski demikian, masih bisa
ditampilkan di luar ritus padi tetapi tetap mempunyai aturan, misalnya
hanya boleh ditabuh hingga masa ngubaran pare (mengobati padi), sekitar
tiga bulan dari sejak ditanamnya padi. Setelah itu, selama enam bulan
berikutnya semua kesenian tidak boleh dimainkan, dan boleh dimainkan
lagi pada musim menanam padi berikutnya. Menutup angklung dilaksanakan
dengan acara yang disebut musungkeun angklung, yaitu nitipkeun
(menitipkan, menyimpan) angklung setelah dipakai.
Dalam sajian hiburan, Angklung biasanya diadakan saat terang bulan dan tidak hujan. Mereka memainkan angklung di buruan (halaman luas di pedesaan) sambil menyanyikan bermacam-macam lagu, antara lain: Lutung Kasarung, Yandu Bibi, Yandu Sala, Ceuk Arileu, Oray-orayan, Dengdang, Yari Gandang, Oyong-oyong Bangkong, Badan Kula, Kokoloyoran, Ayun-ayunan, Pileuleuyan, Gandrung Manggu, Rujak Gadung, Mulung Muncang, Giler, Ngaranggeong, Aceukna, Salak Sadapur, Rangda Ngendong, Celementre, Keupat Reundang, Papacangan, dan Culadi Dengdang.
Para penabuh angklung sebanyak delapan orang dan tiga penabuh bedug
ukuran kecil membuat posisi berdiri sambil berjalan dalam formasi
lingkaran. Sementara itu yang lainnya ada yang ngalage (menari) dengan
gerakan tertentu yang telah baku tetapi sederhana. Semuanya dilakukan
hanya oleh laki-laki. Hal ini berbeda dengan masyarakat Daduy Dalam,
mereka dibatasi oleh adat dengan berbagai aturan pamali (pantangan;
tabu), tidak boleh melakukan hal-hal kesenangan duniawi yang berlebihan.
Kesenian semata-mata dilakukan untuk keperluan ritual.
Nama-nama angklung di Kanekes dari yang terbesar adalah: indung,
ringkung, dongdong, gunjing, engklok, indung leutik, torolok, dan roel.
Roel yang terdiri dari 2 buah angklung dipegang oleh seorang. Nama-nama
bedug dari yang terpanjang adalah: bedug, talingtit, dan ketuk.
Penggunaan instrumen bedug terdapat perbedaan, yaitu di kampung-kampung
Kaluaran mereka memakai bedug sebanyak 3 buah. Di Kajeroan; kampung
Cikeusik, hanya menggunakan bedug dan talingtit, tanpa ketuk. Di
Kajeroan, kampung Cibeo, hanya menggunakan bedug, tanpa talingtit dan
ketuk.
Di Kanekes yang berhak membuat angklung adalah orang Kajeroan
(Tangtu; Baduy Jero). Kajeroan terdiri dari 3 kampung, yaitu Cibeo,
Cikartawana, dan Cikeusik. Di ketiga kampung ini tidak semua orang bisa
membuatnya, hanya yang punya keturunan dan berhak saja yang
mengerjakannya di samping adanya syarat-syarat ritual. Pembuat angklung
di Cikeusik yang terkenal adalah Ayah Amir (59), dan di Cikartawana Ayah
Tarnah. Orang Kaluaran membeli dari orang Kajeroan di tiga kampung
tersebut.
Angklung Reyog
Angklung
Reyog merupakan alat musik untuk mengiringi Tarian Reyog Ponorogo di
Jawa Timur.
angklung Reyog memiliki khas dari segi suara yang sangat keras, memiliki
dua nada serta bentuk yang lengkungan rotan yang menarik (tidak seperti
angklung umumnya yang berbentuk kubus) dengan hiasan benang
berumbai-rumbai warna yang indah.
di kisahkan angklung merupakan sebuah senjata dari kerajaan bantarangin
ketika melawan kerajaan lodaya pada abad ke 9, ketika kemenangan oleh
kerajaan bantarangin para prajurit gembira tak terkecuali pemegang
angklung, karena kekuatan yang luar biasa penguat dari tali tersebut
lenggang hingga menghasilkan suara yang khas yaitu klong- klok dan
klung-kluk bila didengar akan merasakan getaran spiritual.
Dalam sejarahnya angklung Reyog ini digunakan pada film: Warok Singo Kobra (1982), Tendangan Dari Langit (2011)
Dan penggunaan angklung Reyog pada musik seperti: tahu opo tempe,
sumpah palapa, kuto reog, Resik Endah Omber Girang, dan campursari
berbau ponorogoan.
Angklung Banyuwangi
Angklung banyuwangi ini memiliki bentuk seperi calung dengan nada budaya banyuwangi
Angklung Gubrag
Angklung
gubrag terdapat di kampung Cipining, kecamatan Cigudeg, Bogor. Angklung
ini telah berusia tua dan digunakan untuk menghormati dewi padi dalam
kegiatan melak pare (menanam padi), ngunjal pare (mengangkut padi), dan
ngadiukeun (menempatkan)
Dalam mitosnya angklung gubrag mulai ada ketika suatu masa kampung Cipining mengalami musim paceklik.
Angklung Badeng
Badeng
merupakan jenis kesenian yang menekankan segi musikal dengan angklung
sebagai alat musiknya yang utama. Badeng terdapat di Desa Sanding,
Kecamatan Malangbong, Garut. Dulu berfungsi sebagai hiburan untuk kepentingan dakwah Islam.
Tetapi diduga badeng telah digunakan masyarakat sejak lama dari masa
sebelum Islam untuk acara-acara yang berhubungan dengan ritual penanaman
padi.
Sebagai seni untuk dakwah badeng dipercaya berkembang sejak Islam
menyebar di daerah ini sekitar abad ke-16 atau 17. Pada masa itu
penduduk Sanding, Arpaen dan Nursaen, belajar agama Islam ke kerajaan Demak.
Setelah pulang dari Demak mereka berdakwah menyebarkan agama Islam.
Salah satu sarana penyebaran Islam yang digunakannya adalah dengan
kesenian badeng.
Angklung yang digunakan sebanyak sembilan buah, yaitu 2 angklung
roel, 1 angklung kecer, 4 angklung indung dan angklung bapa, 2 angklung
anak; 2 buah dogdog, 2 buah terbang atau gembyung, serta 1 kecrek.
Teksnya menggunakan bahasa Sunda yang bercampur dengan bahasa Arab. Dalam perkembangannya sekarang digunakan pula bahasa Indonesia.
Isi teks memuat nilai-nilai Islami dan nasihat-nasihat baik, serta
menurut keperluan acara. Dalam pertunjukannya selain menyajikan
lagu-lagu, disajikan pula atraksi kesaktian, seperti mengiris tubuh
dengan senjata tajam.
Lagu-lagu badeng: Lailahaileloh, Ya’ti, Kasreng, Yautike, Lilimbungan, Solaloh
Angklung Buncis
Buncis merupakan seni pertunjukan yang bersifat hiburan, di antaranya terdapat di Baros (Arjasari, Bandung).
Pada mulanya buncis digunakan pada acara-acara pertanian yang
berhubungan dengan padi. Tetapi pada masa sekarang buncis digunakan
sebagai seni hiburan. Hal ini berhubungan dengan semakin berubahnya
pandangan masyarakat yang mulai kurang mengindahkan hal-hal berbau
kepercayaan lama. Tahun 1940-an dapat dianggap sebagai berakhirnya
fungsi ritual buncis dalam penghormatan padi, karena sejak itu buncis
berubah menjadi pertunjukan hiburan. Sejalan dengan itu tempat-tempat
penyimpanan padi pun (leuit; lumbung) mulai menghilang dari rumah-rumah
penduduk, diganti dengan tempat-tempat karung yang lebih praktis, dan
mudah dibawa ke mana-mana. Padi pun sekarang banyak yang langsung
dijual, tidak disimpan di lumbung. Dengan demikian kesenian buncis yang
tadinya digunakan untuk acara-acara ngunjal (membawa padi) tidak
diperlukan lagi.
Nama kesenian buncis berkaitan dengan sebuah teks lagu yang terkenal di kalangan rakyat, yaitu cis kacang buncis nyengcle..., dst. Teks tersebut terdapat dalam kesenian buncis, sehingga kesenian ini dinamakan buncis.
Instrumen yang digunakan dalam kesenian buncis adalah 2 angklung
indung, 2 angklung ambrug, angklung panempas, 2 angklung pancer, 1
angklung enclok. Kemudian 3 buah dogdog, terdiri dari 1 talingtit,
panembal, dan badublag. Dalam perkembangannya kemudian ditambah dengan
tarompet, kecrek, dan goong. Angklung buncis berlaras salendro dengan
lagu vokal bisa berlaras madenda atau degung.
Lagu-lagu buncis di antaranya: Badud, Buncis, Renggong, Senggot,
Jalantir, Jangjalik, Ela-ela, Mega Beureum. Sekarang lagu-lagu buncis
telah menggunakan pula lagu-lagu dari gamelan, dengan penyanyi yang
tadinya laki-laki pemain angklung, kini oleh wanita khusus untuk
menyanyi.
Dari beberapa jenis musik bambu di Jawa Barat (Angklung) di atas,
adalah beberapa contoh saja tentang seni pertunjukan angklung, yang
terdiri atas: Angklung Buncis (Priangan/Bandung), Angklung Badud (Priangan Timur/Ciamis), Angklung Bungko (Indramayu), Angklung Gubrag (Bogor), Angklung Ciusul (Banten), Angklung Dog dog Lojor (Sukabumi), Angklung Badeng (Malangbong, Garut), dan Angklung Padaeng yang identik dengan Angklung Nasional dengan tangga nada diatonis, yang dikembangkan sejak tahun 1938.
Angklung khas Indonesia ini berasal dari pengembangan angklung Sunda.
Angklung Sunda yang bernada lima (salendro atau pelog) oleh Daeng Sutigna alias Si Etjle (1908–1984) diubah nadanya menjadi tangga nada
Barat (solmisasi) sehingga dapat memainkan berbagai lagu lainnya. Hasil
pengembangannya kemudian diajarkan ke siswa-siswa sekolah dan dimainkan
secara orkestra besar.
Angklung Padaeng
Untuk keterangan lebih detail mengenai angklung ini, silakan kunjungi artikel Angklung Padaeng
Angklung padaeng adalah angklung yang dikenalkan oleh Daeng Soetigna sejak sekitar tahun 1938. Terobosan pada angklung padaeng adalah digunakannya laras nada Diatonik
yang sesuai dengan sistem musik barat. Dengan demikian, angklung kini
dapat memainkan lagu-lagu internasional, dan juga dapat bermain dalam Ensembel dengan alat musik internasional lainnya.
Angklung Sarinande
Angklung
sarinande adalah istilah untuk angklung padaeng yang hanya memakai nada
bulat saja
(tanpa nada kromatis) dengan nada dasar C. Unit kecil angklung sarinade
berisi 8 angklung (nada Do Rendah sampai Do Tinggi), sementara sarinade
plus berisi 13 angklung (nada Sol Rendah hingga Mi Tinggi).
Angklung Toel
Angklung toel diciptakan oleh Kang Yayan Udjo sekitar tahun 2008.[1]
Pada alat ini, ada rangka setinggi pinggang dengan beberapa angklung
dijejer dengan posisi terbalik dan diberi karet. Untuk memainkannya,
seorang pemain cukup men-toel angklung tersebut, dan angklung akan
bergetar beberapa saat karena adanya karet.
Angklung Sri-Murni
Angklung ini merupakan gagasan Eko Mursito Budi yang khusus diciptakan untuk keperluan
robot angklung.[2]
Sesuai namanya, satu angklung ini memakai dua atau lebih tabung suara
yang nadanya sama, sehingga akan menghasilkan nada murni (mono-tonal).
Ini berbeda dengan angklung padaeng yang multi-tonal. Dengan ide
sederhana ini, robot dengan mudah memainkan kombinasi beberapa angklung
secara simultan untuk menirukan efek angklung melodi maupun angklung
akompanimen.
Ansambel angklung
Agar
lebih kaya suaranya, angklung sebaiknya dimainkan dengan alat musik
lain, membentuk ansambel. Beberapa ansambel angklung yang sudah mapan
adalah:
Klasik Padaeng
Ansambel angklung klasik yang dikenalkan oleh Daeng Soetigna ini terdiri atas:
- Angklung melodi
- Angklung akompanimen
- Bas betot
Kombinasi minimal inilah yang paling populer dan umum dijumpai saat konser maupun lomba paduan angklung.
Angklung solo
Angklung
solo adalah konfigurasi yang menggantungkan satu unit angklung melodi
pada suatu
palang sehingga bisa dimainkan satu orang saja.
Sesuai dengan konvensi nada diatonis, maka ada dua jajaran gantungan
angklung. Yang bawah berisi nada penuh, sedangkan yang atas berisi nada
kromatis.
Angklung solo ini digagas oleh Yoes Roesadi tahun 1964, dan dimainkan
bersama
alat musik basanova dalam grup Aruba (Alunan Rumpun Bambu).
Sekitar tahun 1969, nama Aruba ini disesuaikan menjadi Arumba[3]
Arumba
Arumba adalah istilah bagi seperangkat alat musik yang minimal terdiri atas:
- Satu unit angklung melodi, digantung sehingga bisa dimainkan oleh satu orang
- Satu unit bass lodong, juga dijejer agar bisa dimainkan satu orang
- Gambang bambu melodi
- Gambang bambu pendamping
- Gendang
sumber : wikipedia
SASANDO
Sasando adalah sebuah alat musik dawai yang dimainkan dengan dipetik. Instumen musik ini berasal dari pulau Rote, Nusa Tenggara Timur.
Secara harfiah nama Sasando menurut asal katanya dalam bahasa Rote,
sasandu, yang berasal dari kata Sandu atau Sanu yang artinya bergetar
atau meronta. Suara sasando memiliki kemiripan dengan alat musik dawai lainnya seperti gitar, biola, kecapi, dan harpa. Sasando menurut Organologi tergolong dalam Sitar tabung Bambu.
Bagian utama sasando berbentuk tabung panjang yang biasa terbuat
dari bambu. Lalu pada bagian tengah, melingkar dari atas ke bawah diberi
ganjalan-ganjalan
di mana senar-senar (dawai-dawai) yang direntangkan di tabung, dari atas
kebawah bertumpu. Ganjalan-ganjalan ini memberikan nada yang
berbeda-beda kepada setiap petikan senar. Lalu tabung sasando ini
ditaruh dalam sebuah wadah yang terbuat dari semacam anyaman daun lontar
yang dibuat seperti kipas. Wadah ini merupakan tempat resonansi
sasando.
Perkembangan Sasando berjalan seiring perubahan waktu.
Modifikasi dan peningkatan kualitas bunyi mulai dilakukan. Agar mendapat
bunyi yang lebih keras dan bisa disesuai dalam wadah pertunjukkan musik
apapun maka Sasando akustik beralih perlahan lahan ke Sasando elektrik.
Bentuk Sasandopun dimodifikasi dan dibuat lebih modern dan elegan.
Ditahun 2018 bahkan mulai diciptakan oleh seorang pemain Sasando
profesional Natalino Mella Sasando yang diberi nama Sasando Bariton.
Sasando bariton mempunyai bunyi yg berbeda dengan sasando pada umumnya.
Sasando ini menggunakan jenis senar yang berbeda dalam ketebalannya dan
mempunyai bunyi yang lebih bulat dan lebih terasa bassnya. Dilengkapi
dengan 32 senar berwarna dan bridge yang bisa dipindahkan serta bisa
dimainkan dengan teknik 10 jari yang membuat sasando ini akan lebih kaya
untuk dipelajari [







bt895 replica bags zi603
BalasHapus