Just another free Blogger theme

Minggu, 31 Mei 2020





Jakarta, Kemendikbud — Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menerbitkan Surat Edaran Nomor 15 Tahun 2020 tentang Pedoman Penyelenggaraan Belajar Dari Rumah Dalam Masa Darurat Penyebaran Covid-19. Staf Ahli Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Bidang Regulasi, Chatarina Muliana Girsang menyampaikan Surat Edaran Nomor 15 ini untuk memperkuat Surat Edaran Mendikbud Nomor 4 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Pendidikan Dalam Masa Darurat Coronavirus Disease (Covid-19). 

“Saat ini layanan pembelajaran masih mengikuti SE Mendikbud nomor 4 tahun 2020 yang diperkuat dengan SE Sesjen nomor 15 tahun 2020 tentang Pedoman Pelaksanaan BDR selama darurat Covid-19,” disampaikan Chatarina pada Bincang Sore secara daring, di Jakarta, pada Kamis (28/05/2020).

Dalam surat edaran ini disebutkan bahwa tujuan dari pelaksanaan Belajar Dari Rumah (BDR) adalah memastikan pemenuhan hak peserta didik untuk mendapatkan layanan pendidikan selama darurat Covid-19, melindungi warga satuan pendidikan dari dampak buruk Covid-19, mencegah penyebaran dan penularan Covid-19 di satuan pendidikan dan memastikan pemenuhan dukungan psikososial bagi pendidik, peserta didik, dan orang tua.

“Pilihannya saat ini yang utama adalah memutus mata rantai Covid-19 dengan kondisi yang ada semaksimal mungkin, dengan tetap berupaya memenuhi layanan pendidikan. Prinsipnya keselamatan dan kesehatan lahir batin peserta didik, pendidik, kepala sekolah, dan seluruh warga satuan pendidikan adalah menjadi pertimbangan yang utama dalam pelaksanaan belajar dari rumah,” ungkap Chatarina.

Kembali Chatarina mengingatkan bahwa, kegiatan BDR dilaksanakan untuk memberikan pengalaman belajar yang bermakna bagi peserta didik, tanpa terbebani tuntutan menuntaskan seluruh capaian kurikulum serta difokuskan pada pendidikan kecakapan hidup, antara lain mengenai pandemi Covid-19. “Materi pembelajaran bersifat inklusif sesuai dengan usia dan jenjang pendidikan, konteks budaya, karakter dan jenis kekhususan peserta didik,” katanya.

Chatarina menambahkan aktivitas dan penugasan BDR dapat bervariasi antar daerah, satuan pendidikan dan peserta didik sesuai minat dan kondisi masing-masing, termasuk mempertimbangkan kesenjangan akses terhadap fasilitas BDR. “Hasil belajar peserta didik selama BDR diberi umpan balik yang bersifat kualitatif dan berguna dari guru tanpa diharuskan memberi skor/nilai kuantitatif, serta mengedapankan pola interaksi dan komunikasi yang positif antara guru dengan orang tua,” terangnya.

Tahun Ajaran Baru Tidak Harus Tatap Muka

Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah (Plt. Dirjen PAUD Dikdasmen) Hamid Muhammad menerangkan bahwa lazimnya, kalender pendidikan untuk jenjang PAUD Dikdasmen ditetukan pada minggu ketiga di bulan Juli. Ditegaskan Hamid, mengingat saat ini tengah terjadi pandemi Covid-19, tahun ajaran baru tidak sama dengan kegiatan belajar mengajar (KBM) tatap muka di sekolah.

Metode dan media pelaksanaan BDR dilaksanakan dengan dengan Pembelajaran Jarak Jauh yang dibagi kedalam dua pendekatan yaitu pembelajaran jarak jauh dalam jaringan (daring) dan luar jaringan (luring). “PJJ ada yang daring, ada yang semi daring, dan ada yang luring,” kata Hamid.

Untuk media pembelajaran jarak jauh daring, Kemendikbud merekomendasikan 23 laman yang bisa digunakan peserta didik sebagai sumber belajar. Selain itu, warga satuan pendidikan juga dapat memperoleh informasi mengenai Covid-19 di https://covid19.go.id serta di laman https://bersamahadapikorona.kemdikbud.go.id.

Kemudian, untuk metode pembelajaran jarak jauh secara luring, warga satuan pendidikan khususnya peserta didik dapat memanfaatkan berbagai layanan yang disediakan oleh Kemendikbud antara lain program belajar dari rumah melalui TVRI, radio, modul belajar mandiri dan lembar kerja, bahan ajar cetak serta alat peraga dan media belajar dari benda dan lingkungan sekitar.

“Ketika tahun ajaran baru sebagian besar sekolah menggunakan PJJ maka ini yang akan diperkuat. Kami akan support melalui Rumah Belajar, TV Edukasi, kerja sama dengan TVRI akan diperpanjang, kemudian penyediaan kuota murah oleh para penyedia telekomunikasi,” pungkas Hamid Muhammad.

Rabu, 27 Mei 2020


Selasa, 26 Mei 2020

Kami Sekeluarga mengucapkan 
Selamat Hari Raya Idul Fitri
Mohon Maaf Lahir dan Batin




Sebagaimana firman Allah bahwa shalat bagi orang mukmin adalah kewajiban yang waktunya sudah ditentukan. 
Orang mukmin sendiri dalam menjalankan kewajiban itu terkadang karena suatu hal yang sangat mendesak tidak dapat menjalankan sesuai alokasi waktu yang ditentukan syariat. 
Dari sinilah kemudian muncul istilah ada’, qadha’ dan i’adah. 
Dalam pengertiannya shalat ada diartikan dengan menjalankan shalat dalam batas waktu yang telah ditentukan.Termasuk dalam ‘ada menurut madzhab Hanafiyah apabila seseorang mendapatkan kira-kira sekedar takbiratul ihram di akhir waktu shalat. 
Sementara Syafi’iyyah berpendapat bahwa seseorang itu shalat ‘ada apabila mendapatkan satu rakaat Ditinjau dari sisi hukum, sebenarnya antara qadha’ dan ada’ adalah sama, yaitu sma-sama wajib sebagaimana diungkapkan al-Imam Abu Hamid bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali dalam kitabnya, fawatikhu rakhamut bahwa kewajiban itu ada dua yaitu ada’  dan qadha’. Hanya saja pelaksanaan dan nilainya yang berbeda. Yang satu dilaksanakan tepat waktu, yang satu tidak tepat waktu, sehingga berdosa. Tetapi terlepas berdosa atau tidak, qadha’ adalah tindakan indisipliner yang akan mengurangi nilai seorang hamba dengan Tuhannya. Lalu bagaimana dengan i’adah? Menurut istilah para fuqaha, ‘iadah diartikan dengan menjalankan shalat yang sama untuk keduakalinya pada waktunya atau tidak. Karena dalam shalat yang pertama terdapat cacat atau ada shalat kedua yang lebih tinggi tingkat afdhaliyahnya. Shalat i’adah ada yang wajib, tidak wajib dan sunnah. I’adah yang wajib diantaranya apabila seseorang tidak menemukan atau memiliki sesuatu yang mensucikan untuk bersuci (air, debu). Dalam kondisi waktu yang terbatas, ia tetap wajib shalat meski tidak bersuci dan kemudian wajib ‘iadah pada waktu yang lain setelah mendapatkan sesuatu yang bisa dipergunakan untuk bersuci. Hal ini mengingat bersuci adalah syarat shalat. (Fawatikhu Rakhamut: I, 36, Al-Majmu’: 3, 132
Contoh lain apabila seseorang shalat tidak menghadap kiblat meskipun telah berijtihad kecuali ijtihad itu dengan melaksanakan shalat keempat arah. (al-Majmu’: III, 304). Begitu pula dengan seseorang yang melaksanakan shalat tanpa mengetahui waktu, maka wajib i’adah sebagaimana disampaikan Qadhi Abu Thoyyib dan Abu Hamid al-Ghazali. 
Adapun yang tidak wajib i’adah  seperti seorang yang tanpa menutup sebagian atau seluruh aurat karena memang tidak punya sama sekali. Sedangkan yang sunnah i’adah adalah apabila ada shalat kedua yang lebih afdhal, seperti orang yang sudah shalat sendirian atau berjama’ah. Kemudian dalam waktu yang tidak lama ada jamaah yang lebih banyak, maka ia disunahkan i’adah mengikuti jama’ah yang kedua. Dengan demikian, shalat i’adah tidaklah seperti shalat ada’  atau qadha’. Pertama, i’adah tidak berfungsi menggantikan shalat sebelumnya, karena pada prinsipnya shalat yang pertama adalah shalat yang sah. Kedua, i’adah ada yang wajib dan ada yang sunah. Hal ini tidak seperti ada’ dan qadha’ yang keduanya sama-sama wajib. Ketiga, shalat i’adah yang belum dilaksanakan, karena pelakunya keburu meninggal dunia, misalnya tidak akan dituntut seperti shalat qadha’ yang belum dilaksanakan.        
(KH.MA. Sahal Mahfudh, dialog Dengan Kiai Sahal Mahfudh (Solusi Problematika Umat), Surabya: Ampel Suci dan LTN PWNU Jawa Timur.